Minggu, 02 Maret 2014

Joy dan Benda Bernama Rindu



Pagi itu, ada yang berbeda dari Joy. Senyum dan auranya cerah ceria. Berulang kali ia tertawa kecil memandangi telepon genggamnya. Ada satu nama di layar kecil itu yang membuat matanya berbinar setiap kali ada pesan singkat masuk di handphonenya. Gani. 

Ya, Gani. Lelaki itu telah mengisi hari-hari Joy yang selama ini tak menarik dan membosankan. Walaupun hanya berkomunikasi via telepon, Joy merasa nyaman membicarakan apapun kepada Gani. Mulai mengeluh tentang sinyal yang buruk, rasa kantuk yang menyerang ketika rapat direksi, rencana karir yang disusunnya, dan apapun. 

Dan pagi itu, alasan dari senyum Joy juga Gani. Sosok yang berjarak ribuan kilometer dari kota kecil dimana Joy tinggal, telah menyatakan perasaannya. Gani menemui Joy dan merasa yakin dengannya. Tidak jauh berbeda dengan Joy, Gani mengaku merasa nyaman dengan adanya Joy selama ini. Meski Joy sempat meragu, memikirkan rumitnya keadaan mereka saat ini, terpisah ruang dan waktu yang begitu nyata, namun Gani meyakinkan semua akan baik-baik saja. Dan semua akan bisa berjalan dengan baik. Joy pun mengiyakan, sembari mengucap harap di dalam hati bahwa semuanya memang akan baik-baik saja. 

Maka mulai hari itulah mereka berdua pun menyiratkan janji untuk berbagi cerita, masalah, keluh kesah, tangis, dan tawa canda bersama.

Semua tampak begitu mudah pada awalnya bagi Joy. Sudah cukup lama ia tak membiarkan hatinya bahagia seperti saat ini, saat dengan Gani. Jarak yang membentang belum dirasa menjadi halangan bagi mereka berdua. Hingga keduanya terlibat dalam kesibukan masing-masing. Gani yang bekerja sebagai anggota pasukan perdamaian PBB, seringkali bepergian ke beberapa daerah untuk melaksanakan tugasnya. Joy mengetahui resiko yang akan dihadapinya, tapi sebenernya ia hanya merasa yakin ia mengetahui hal tersebut.
Tak lama setelah itu Joy seringkali merasa dongkol, ketika menunggu balasan chat dari Gani yang tak kunjung masuk di handphonenya. Sudah tak terhitung berapa juta kali dalam sehari kedua mata kecil Joy melirik ke tempat handphonenya yang berwarna lavender itu. Terkadang karena lelah mengharapkan adanya chat dari Gani, Joy mematikan handphonenya tersebut, memutus satu-satunya jalan komunikasi mereka berdua. Namun selalu tidak sampai hitungan jam, Joy kembali menghidupkan handphone nya dan kembali ke  awal, menunggu masuknya chat dari Gani. Begitulah siklus yang dialami Joy setiap harinya.

Kalau sudah seperti itu, kesedihan selalu menghampiri gadis berambut panjang sebahu tersebut. Ia mengutuk jarak yang ternyata membuat rindu yang dirasakan Joy semakin menggebu, namun tak ada yang bisa dilakukan untuk meredamnya. Joy merasa Gani semakin jauh, dan ia sangat takut bila nantinya lelaki itu akan benar-benar menghilang dan melupakannya. 

Hari-hari bahagia milik Joy yang terdulu, mulai memudar. Terhitung sudah tiga minggu tidak ada kabar sedikitpun dari Gani. Joy hampir gila, ia tampak seperti orang linglung. Selama tiga minggu itu pula ia mengurung diri di kamar, mendengarkan lagu-lagu sedih, memandangi satu-satunya foto mereka berdua di depan menara Eiffel sambil menangis, dan memohon kepada Tuhan agar Gani baik-baik saja dimanapun ia berada.  

Pada hari pertama minggu keempat, Joy tidak tahan lagi. Setelah putus asa menunggu kabar dari lelaki yang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya, Ia mencoba menulis surat walaupun tidak tahu akan mengirimkannya kemana.. Begitu lama ia memandang kertas putih tersebut dengan tetesan air mata berebut untuk berjatuhan di pipinya yang chubby, sebelum akhirnya ia sanggup menuliskan kalimat demi kalimat..


Dear Gani dimanapun kau berada,


Aku Joy, perempuan yang selalu kau sebut tukang tidur, dan aku merindukanmu. Aku hanya ingin meminta maaf kepadamu, apabila selama ini yang terjadi lebih banyak perdebatan dan prasangka buruk. Itu karena selalu ada benda berat yang selalu menyesakkan di dadaku, bernama rindu. Benda ini seakan ingin aku keluarkan dan aku hancurkan menjadi serbuk-serbuk kecil dan hilang diterpa angin, namun sayangnya hal itu mustahil. Benda ini mengeluarkan energi negatif yang berdampak pada keseluruhan diriku, terutama apabila aku tidak bisa mendengar suaramu. Ia melemahkanku, meruntuhkan segala pertahanan egoku, membuat sirna logikaku. Ia juga mencegahku melakukan hal lain selain memikirkanmu. Terkadang aku kehilangan kata-kataku karena kehilangan perhatianmu, dan efek dari menumpuknya benda ini di dadaku adalah emosi yang tidak terkontrol. Itu adalah alasan mengapa aku sinis dan ketus setiap kau terlambat membalas pesanku, atau mencoba menghiburku. Namun percayalah, bukan itu maksudku. 


Sayang..  


Aku Joy, perempuan yang selalu kau sebut tukang tidur, dan aku merindukanmu.

Pulanglah..

0 comments:

Posting Komentar