Minggu, 13 Maret 2016

Teruntuk Sang Kakak

Sore itu saya sedang berada di kamar, sedikit belajar, banyak galau tentang masalah cinta. Iya, cinta. Hal yang bisa membuat pikiran saya bercabang bahkan ketika mengerjakan soal-soal ujian. Terlintas walau hanya sekejap. Mengesalkan, menyebalkan, dan mengganggu. Tiba-tiba ada notif LINE dari ponsel saya. Oh, dari Mami ternyata. Betapa kagetnya ketika saya membaca chat sesosok ibu yang sangat saya sayangi tersebut.

 “Mbak, Alhamdulillah Mas Kiki lolos beasiswa S2 di UK”

Seketika galau saya sirna sampai ke akar-akarnya dan tergantikan oleh rasa senang, bersyukur, sekaligus tidak percaya. Senang sekali mendengar kakak kandung saya akhirnya bisa mencapai salah satu impian terbesarnya. Bahkan ketika jari saya menari di atas keyboard saat ini, masih ada rasa bahagia yang meluap-luap dari setiap tuts huruf yang saya tekan. Seakan ingin sekali memeluk dan menyalami tangan laki-laki tambun tersebut. Alhamdulillah Ya Allah!!

Mas Kiki, begitu saya memanggil lelaki yang sudah 28 tahun menjadi seorang Kakak bagi saya dan adik saya. Sebagai seorang anak pertama dalam keluarga kami, Mas Kiki menanamkan banyak hal dalam kehidupan saya. Sedari kecil, Mas Kiki adalah orang yang paling mudah bergaul dan humoris. Saya teringat ketika saya sangat tidak ingin berkunjung ke rumah Eyang karena letaknya di daerah pedesaan. Bagi anak kecil seperti saya dulu, sangat membosankan bila harus ke tempat dimana tidak ada Mall di sekitarnya. Sepanjang hari di rumah Eyang, saya hanya cemberut dan diam. Kesal karena dipaksa menghadiri acara keluarga di sana. Tapi entah kenapa, Mas Kiki selalu yang paling santai. Ia tidak menampakkan kebosanannya, bahkan bercanda dan mengobrol dengan yang lain.

Meskipun masa kecil kami sebagian besar dihabiskan dengan bertengkar dan beradu mulut satu sama lain, tapi bila ditanya apakah saya mau menukar Mas Kiki dengan orang lain sebagai Kakak saya? Jawabannya tidak.  Mas Kiki mengajarkan saya untuk bertanggung jawab dalam hidup. Saya ingat sekali, ketika sedang duduk di bangku SMP saya berjanji kepadanya untuk pulang ke rumah jam 4 sore. Ketika itu kami bergantian menjaga rumah ketika Mami dan Papi sedang bekerja. Dasar anak ABG, janji kepada kakak kandung sendiri saya anggap tidak terlalu penting. “Yah, telat-telat dikit gapapa kali yah..” pikir saya waktu itu.

Tiga puluh menit terlambat dari jam yang kami sepakati, saya disambut dengan muka masam Mas Kiki di depan pintu ketika pulang ke rumah. Kunci rumah waktu itu dilempar ke lantai olehnya. Sambil mengikat tali sepatunya dengan gerakan menghentak kesal, ia menasehati saya dengan nada yang tinggi. “Kalau kamu telah berjanji kepada seseorang, berusahalah untuk menepatinya! Apakah kamu selama ini tidak pernah diajarkan untuk disiplin waktu? Aku telat jadinya kalau begini!”

Ego saya terluka waktu itu. Bagaimana tidak, Mas Kiki hampir tidak pernah berteriak seperti itu kepada saya. Dalam hati kecil saya, saya menyesal dan merasa bersalah kepadanya. Tapi akhirnya saya mengerti, ia sedang membimbing adiknya menjadi orang yang baik.

Mas Kiki, Mami, dan saya

Mas Kiki pula yang mengajarkan saya untuk berani bermimpi, mengambil resiko, dan berani mencoba meskipun kegagalan adalah salah satu hal yang menyeramkan. Kami berdua sama, ingin sekali membanggakan orangtua kami dengan pergi ke luar negeri. Alasannya, sejak kecil kami gemar menonton film-film Hollywood dan MTV adalah channel TV wajib yang kami tonton di pagi hari. Rasa penasaran kami pun semakin lama semakin besar. Namun setiap kami meminta ke orangtua untuk berlibur ke luar negeri, Mami dan Papi selalu menjawab dengan kalimat yang sama. “Iya, nanti kalian pasti bisa pergi keliling dunia dengan usaha kalian sendiri”

Seperti berjanji ke diri kami masing-masing, ketika beranjak dewasa kami berusaha mengejar mimpi itu, Mas Kiki dengan menabung dari hasil kerjanya. Saya menabung dari uang jajan saya serta mengikuti seleksi pertukaran pelajar. Setiap rencana gila yang saya ungkapkan kepadanya mengenai traveling, ia selalu mendukung baik secara moral dan keuangan, hehe. Meskipun saya tahu, ada rasa takut dan khawatir kepada adik perempuannya ketika berada di tempat yang asing untuk pertama kali.

Puji syukur kepada Penguasa Alam Semesta, Allah SWT yang menuliskan rencana hidup terindah kepada hamba-Nya. Allah mengabulkan doa kami dengan mengijinkan Mas Kiki mengambil gelar Master-nya di Manchester University. Mas Kiki memang sudah berniat dan bertekad untuk itu. Ketika berkunjung ke rumahnya sekarang di Jakarta Selatan. Ia menuliskan di catatan kecil di kamarnya, untuk terus berlatih menulis essay dan membaca buku demi mendaftar kuliah S2.

Sekali lagi, selamat kepada Kakak saya tersayang Kiki Ahmadi. Mohon doanya supaya segala prosesnya lancar dan adiknya juga segera menyandang gelar Dokter. Amiin J




PS : Tulisan ini saya buat tanpa sepengetahuannya, karena gengsi di antara kami terlalu tinggi bahkan untuk mengatakan kekaguman kami satu sama lain. Hehehe. Tulisan ini juga dibuat sebagai bentuk rasa syukur saya memiliki keluarga sehebat keluarga saya, dan atas rasa malu saya karena telah disibukkan oleh hal-hal yang kurang penting sampai mengabaikan mimpi-mimpi saya dan keluarga. J